Cari Blog Ini

Kamis, 08 Desember 2011

makalah islamic development bank


MAKALAH

ISLAMIC DEVELOPMENT BANK
Diajukan Sebagai Tugas Kelompok Dari Mata Kliah

LEMBAGA PEREKONOMIAN UMAT






 















Disusun oleh:

ROMLI HIDAYAT



FAKULTAS SYARI’AH DAN EKNOMI ISLAM
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SULTAN MAULANA HASANUDDIN
BANTEN
2010 – 2011



KATA PENGANTAR


Segala puji teriring puja penyusun limpahkan hanya bagi Allah SWT, apapun  yang tergelar di bumi Allah adalah rahmat-Nya. Sebai-baiknya Shalawat serta salam  Allah SWT limpahkan kepada kekasih–Nya Rasulullah Muhammad SAW, beserta keluarga serta sahabatnya dan kapada kita selaku ummatnya.Amin ya Rabbal Alamin,

Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas kami dalam mata kuliah Ilmu Fiqih dengan judul bahasan “ISLAMIC DEVELOPMENT BANK”
Kami berharap dengan makalah ini dapat menambah wawasan bagi kami semua. Amin.
No body perpect in this world,, untuk itulah, penyusun mengharapkan kritik dan saran pembaca yang membangun untuk memotifasi penyusun dalam menyajikan makalah yang lebih baik lagi.










Serang 2010

     Penyusun


ROMLI HIDAYAT

PERKEMBANGAN BANK ISLAM DI INDONESIA
Gerakan lembaga keuangan Islam modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang beroperasi tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun 1969 oleh Dr. Abdul Hamid An Naggar[1]. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya konferensi ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank (IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina, Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Upaya intensif pendirian Bank Islam[2] di Indonesia dapat ditelusuri sejak tahun 1988, yaitu pada saat Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Oktober (PAKTO) yang mengatur tentang deregulasi industri perbankan di Indonesia. Para ulama waktu itu telah berusaha untuk mendirikan bank bebas bunga, tetapi tidak ada satupun perangkat hukum yang dapat dirujuk kecuali adanya penafsiran dari peraturan perundang-undangan yang ada bahwa perbankan dapat saja menetapkan bunga sebesar 0% (nol persen).
Setelah adanya rekomendasi dari Lokakarya Ulama tentang Bunga Bank dan Perbankan di Cisarua (Bogor) pada tanggal 19-22 Agustus 1990 yang kemudian diikuti dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, di mana perbankan bagi hasil diakomodasikan, maka Bank Muamalat Indonesia merupakan Bank Umum Islam pertama yang beroperasi di Indonesia. Pendirian Bank Muamalat ini diikuti oleh pendirian Bank-bank Perkreditan Rakyat Syariah (BPRS). Namun karena lembaga ini masih dirasakan kurang mencukupi dan belum sanggup menjangkau masyarakat Islam lapisan bawah, maka dibangunlah lembaga-lembaga simpan pinjam yang disebut Baitul Maal wat Tamwil (BMT).
Setelah dua tahun beroperasi, Bank Muamalat mensponsori pendirian asuransi Islam pertama di Indonesia yaitu Syarikat Takaful Indonesia dan menjadi salah satu pemegang sahamnya. Selanjutnya pada tahun 1997, Bank Muamalat mensponsori Lokakarya Ulama tentang Reksadana Syariah yang kemudian diikuti oleh beroperasinya lembaga reksadana syariah oleh PT. Danareksa. Di tahun yang sama pula, berdiri sebuah lembaga pembiayaan (multifinance) syariah, yaitu BNI-Faisal Islamic Finance Company.
Selama lebih dari enam tahun beroperasi, kecuali Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 dan Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1992, praktis tidak ada peraturan perundang-undangan lainnya yang mendukung sistim beroperasinya Perbankan Syariah. Ketiadaan perangkat hukum pendukung ini memaksa Perbankan Syariah menyesuaikan produk-produknya dengan hukum positif yang berlaku (yang nota bene berbasis bunga/konvensional), di Indonesia. Akibatnya ciri-ciri syariah yang melekat padanya menjadi tersamar dan Bank Islam di Indonesia tampil seperti layaknya bank konvensional.
Dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, maka secara tegas Sistem Perbankan Syariah ditempatkan sebagai bagian dari sistim perbankan nasional. UU tersebut telah diikuti dengan ketentuan pelaksanaan dalam beberapa Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia tanggal 12 Mei 1999, yaitu tentang Bank Umum, Bank Umum Berdasarkan Prinsip Syariah, Bank Perkreditan Rakyat (BPR), dan BPR Berdasarkan Prinsip Syariah. Perangkat hukum itu diharapkan telah memberikan dasar hukum yang lebih kokoh dan peluang yang lebih besar dalam pengembangan Perbankan Syariah di Indonesia.
Kini jumlah Bank Umum Syariah di Indonesia telah bertambah dengan telah beroperasinya Bank IFI Cabang Syariah dan Bank Syariah Mandiri, disamping Bank Muamalat Indonesia dan 78 BPR Syariah yang telah ada.


Gerakan kaum neo-revivalis dianggap lebih banyak mempengaruhi perkembangan teori perbankan Islam. Teori ini dikembangkan secara luas guna mempraktikkan interpretasi tradisional riba (yang dianut oleh kaum neo-revivalis) di bidang perbankan dan pembiayaan. Neo-Revivalisme memfokuskan antara lain pada isu-isu penting berikut: melawan westernenisasi umat islam, membela keserbacukupan islam dan Islam sebagai pandangan hidup serta menolak segala bentuk reinterpretasi al-Quran dan Sunnah. Gerakan neo-revivalis yang paling berpengaruh muncul di Mesir dan anak benua India: al-Ikhwanul al-Muslimun yang didirikan oleh aktivis dan reformis Mesir Hasan al-Banna (w.1949) dan Jama’at Islami yang didirikan oleh ulama Pakistan Abu al-A’la al-Maududi (w.1979)

Faktor-faktor yang mendukung munculnya bank-bank Islam

1. Kecaman kaum neo-revivalis terhadap bunga sebagai riba.
Menurut al-Ikhwan al-Muslimun, karena al-Quran telah melarang riba (menurut mereka riba juga mencakup bunga), maka seluruh aktifitas berbasis bunga baik di sektor publik maupun swasta harus segera dihentikan. Kecaman terhadap institusi bunga dan usaha-usaha untuk membangun suatu sistem bank Islam yang bebas bunga terus berlanjut secara simultan pada 1950-an dan 1960-an.

2. Kekayaan minyak negara-negara teluk konservatif.
Peningkatan pendapatan minyak ini membuat banyak sekali cadangan devisa yang kemudian disebut sebagai problem mendaur-ulang petro dollar. Proses daur-ulang dilakukan dengan tiga cara yaitu: (i) dengan membeli barang-barang konsumen dari barat, perangkat keras militer, alat-alat industri dan barang-barang yang lain; (ii) dengan menginvestasikan dana mereka pada proyek-proyek pembangunan didalam dan diluar negeri; (iii) dengan meminjamkan/memanfaatkan uang lewat saluran-saluran resmi dan swasta kepada negara-negara berkembang. Tampaknya melalui saluran-saluran kedua dan ketiga-lah kekayaan minyak mengalir untuk mendirikan bank-bank Islam dan program-program bantuan Arab yang lain.

3. Pengadopsian interpretasi trdisional riba oleh sejumlah negara Muslim.
Keputusan-keputusan politis yang terkait dengan promosi bank Islam mencuat pada tiga garda: (i) pelarangan bunga dalam bentuk undang-undang di beberapa negara Muslim; (ii) keputusan untuk mendirikan bank Islam internaional; (iii) partisipasi pemerintah-pemerintah Muslim dalam memunculkan gerakan perbankan Islam.

Sejak eksperimen perbankan Islam yang pertama dari Mit Ghamr pada tahun 1960-an, bank-bank Islam berkembangbiak, karena disatu pihak, permintaan pasar, dan dilain pihak, usaha-usaha keras negara Teluk kaya minyak pendukung utama perbankan Islam. Bank-bank Islam mulai bertambah jumlahnya dari hanya satu bank di dunia pada awal 1970-an, jumlahnya terus bertambah menjadi sembilan pada tahun 1980. Mereka adalah Nasser Social Bank (1971), Islamic Development Bank (1975), Dubai Islamic Bank (1975), Faisal Islamic Bank Mesir (1977), Faisal Islamic Bank Sudan (1977), Kuwait Finance House (1977), Bahrain Islamic Bank (1979) dan International Islamic Bank for Invesment and Development (1980). Antara tahun 1981-1985, dua puluh empat bank dan lembaga keuangan Islam didirikan di Qatar, Sudan, Bahrain, Malaysia, Bangladesh, Senegal, Guinea, Denmark, Swiss, Turki, Inggris, Yordania, Tunisia dan Mauritania. Masih banyak lagi bank dan lembaga keuangan Islam yang sedang didirikan di hampir semua negara Muslim. Bahkan di negara-negara non-Muslim dimana minoritas Muslim signifikan berada, seperti di Amerika Serikat dan Australia, usaha-usaha sedang dilakukan untuk membentuk lembaga-lembaga keuangan Islam. Disamping bank-bank pribadi, sistem perbankan Pakistan, Iran dan Sudan jelas berjalan berdasarkan beberapa asas Islam.

REFERENSI

  1. http://itune-kobe.blogspot.com/2009/06/sejarah-perkembangan-bank-bank-islam_8883.html
  2. http://shariahlife.wordpress.com/2007/01/16/perkembangan-bank-islam-di-indonesia/
  3. Ahmad An Naggar, Muhafazah wal Mu’asaroh; Dirasah fiil Masrafiyah Laa Ribawiyah, Darul Kutub, Kairo, 1985



[1] Ahmad An Naggar, Muhafazah wal Mu’asaroh; Dirasah fiil Masrafiyah Laa Ribawiyah, Darul Kutub, Kairo, 1985.
[2] Dalam Peraturan perundang-undangan Indonesia, Bank Islam disebut sebagai Bank Syariah.

Tidak ada komentar: